Eksperimen Milgram: Bahaya Bagi Manusia Ketika Menuruti Perintah Tanpa Bertanya

TGX News – Apa yang bikin seseorang tega menyakiti orang lain? Apakah karena dia jahat? Atau karena disuruh? Itu yang coba dijawab oleh Stanley Milgram dalam eksperimen psikologinya yang legendaris, digelar di Universitas Yale pada tahun 1961.

Hasilnya mengejutkan: banyak orang biasa ternyata rela menyiksa sesama manusia hanya karena mereka diperintah oleh figur berkuasa.

Milgram merancang eksperimen ini dalam bentuk simulasi belajar. Peserta—yang tak tahu apa-apa soal eksperimen sebenarnya—diminta berperan sebagai “guru” yang harus menghukum seorang “murid” setiap kali salah menjawab soal hafalan kata.

Hukuman itu berupa sengatan listrik dari alat generator yang tampak sangat meyakinkan, dengan 30 level mulai dari 15 volt sampai 450 volt, yang ditandai dengan label mengerikan seperti Danger: Severe Shock dan bahkan XXX.

Yang tidak diketahui peserta adalah: si “murid” itu sebenarnya aktor. Dia tidak benar-benar disetrum, tapi dia akan berpura-pura kesakitan, menjerit, memohon, bahkan diam total setelah level tertentu.

Sementara itu, seorang “eksperimenter” berseragam jas lab berdiri di samping peserta, memberi instruksi untuk terus melanjutkan eksperimen—bahkan ketika peserta mulai ragu dan gelisah.

Eksperimen lain: Stanford Prison Experiment: Awalnya Teman Tapi Berubah Mengerikan Ketika Mendapat Peran

Dari 40 orang yang ikut, 26 orang tetap menaati perintah hingga level maksimum 450 volt. Mereka sadar bahwa “murid” tampak kesakitan atau bahkan tidak merespons, tapi tetap melanjutkan karena diperintah. Sisanya, 14 orang, berhenti di tengah jalan karena merasa tidak tahan melihat “korban” menderita.

Tekanan emosional yang dialami para peserta nyata dan ekstrem. Mereka berkeringat deras, gemetar, tergagap, bahkan beberapa mengalami tawa gugup yang tidak bisa dikendalikan. Tiga orang mengalami kejang ringan selama eksperimen berlangsung. Salah satunya, seorang sales encylopedia berusia 46 tahun, sampai harus dihentikan secara paksa karena kondisi fisiknya tak sanggup menahan stres.

Padahal, para peserta tidak diancam hukuman jika menolak. Mereka bisa saja bilang “tidak” dan pergi. Tapi mayoritas tetap nurut.

Milgram menyimpulkan bahwa ketaatan terhadap otoritas bisa sangat kuat—bahkan melebihi akal sehat dan empati. Eksperimen ini menjadi gambaran kecil dari bagaimana dalam sejarah, banyak kekejaman besar terjadi bukan karena pelaku utamanya sadis, tapi karena banyak orang “biasa” yang memilih untuk patuh tanpa bertanya.

Hingga kini, eksperimen Milgram tetap relevan. Di tengah dunia yang penuh hirarki, perintah, dan sistem komando—entah itu di kantor, organisasi, atau bahkan ruang digital—pertanyaan ini tetap penting: seberapa jauh kita akan taat, dan kapan kita harus berani berkata tidak?

Milgram, S. (1963). Behavioral Study of obedience. The Journal of Abnormal and Social Psychology, 67(4), 371–378. https://doi.org/10.1037/h0040525

Artikel Lainnya