TGX – Perayaan Hari Tari Dunia kembali disemarakkan oleh Kabul Cultural Space melalui gelaran Trenggalek Menari #4. Tahun ini, acara berlangsung selama dua hari di Tebing Telung Lintang, sebuah lokasi yang sengaja dipilih sebagai bagian dari konsep “reaktif tempat”.

Rhesajaya, Koordinator Pelaksana kegiatan ini menjelaskan, pemilihan lokasi bukan sekadar latar, tetapi titik awal lahirnya konsep. “Kita tahu tempat terlebih dahulu baru konsep. Karena ini di tebing, yang identik dengan batu, maka konsepnya ‘Batu Berbisik’,” jelasnya.

Konsep Batu Berbisik mengangkat tiga elemen utama dalam berkarya: karsa (dorongan), rasa (jiwa), dan karya (wujud ekspresi). Ketiganya diramu dalam bentuk tari yang tak hanya mengandalkan gerak, tapi juga makna yang dalam.

Kegiatan hari pertama diisi dengan pemutaran dan pemaparan Dance Film, bagian dari roadshow Layar Bawah Bukit. Selain itu, digelar juga unjuk rasa, karsa, dan karya dari para peserta serta diskusi lintas disiplin bertajuk Staycation Budaya. Hari kedua melanjutkan panggung ekspresi dengan pertunjukan dari 19 peserta yang telah disaring melalui open submission.

“Alhamdulillah antusias peserta luar biasa. Kami tidak mengundang langsung, semua melalui proses terbuka,” ujar Rhesajaya. Ia juga menyoroti kehadiran peserta luar kota yang dinilainya memberi warna baru sekaligus memantik semangat seniman lokal.

Lebih dari sekadar selebrasi seni, kegiatan ini juga diharapkan memberi dampak pada pariwisata lokal. “Pariwisata kalau ada kesenian pasti jalan. Acara ini secara tidak langsung meningkatkan minat kunjungan ke Tebing Telung Lintang,” tambahnya.

Rhesajaya optimis perkembangan seni tari di Trenggalek makin pesat. Ia menggambarkannya sebagai semakin penuh warna dan nakal dalam kreativitas. Ia pun berharap sinergi antar seniman—baik se-disiplin maupun lintas disiplin—terus terjalin demi keberlangsungan dan pertumbuhan ekosistem seni di Trenggalek.