Muhammadiyah dan CSO Jawa Timur Lawan Krisis Ekologis, dari Trenggalek sampai Kenjeran

Surabaya, TGX News – Kerusakan lingkungan makin serius, dan nggak bisa lagi ditangani dengan cara-cara setengah hati. Itulah yang digaungkan Muhammadiyah bareng puluhan organisasi sipil di forum CSO Gathering Jawa Timur 2025 yang digelar di Universitas Muhammadiyah Surabaya (11/4).

Lewat forum bertema “Memperkuat Kolaborasi untuk Hak Asasi Manusia, Tata Kelola Sumber Daya Alam, dan Peran Perguruan Tinggi dalam Pembangunan Berkelanjutan”, para peserta sepakat: saatnya bangun gerakan lintas sektor demi keadilan ekologis.

Akar Masalah Proyek Strategis Nasional, Tambang, Reklamasi

Sehari sebelum forum utama, Ketua PP Muhammadiyah Dr. H. M. Busyro Muqoddas turun langsung ke lokasi terdampak Proyek Strategis Nasional (PSN) Surabaya Waterfront Land. Ia berdialog dengan warga pesisir yang tergabung dalam Forum Masyarakat Madani Maritim (FM3), mendengar langsung keresahan soal reklamasi yang mengancam ruang hidup mereka.

“Pembangunan yang mengabaikan prinsip keadilan ekologis dan HAM pada hakikatnya adalah pembangunan cacat,” tegas Dr. Busyro.

Green Al-Maun: Gerakan Baru Lawan Kemiskinan Ekologis

David Efendi, Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah, memperkenalkan konsep green al-maun, sebagai respon zaman terhadap makin meluasnya kemiskinan dan ketimpangan akibat krisis lingkungan.

Ia memetakan beberapa episentrum konflik di Jawa Timur, di antaranya rencana tambang emas di Trenggalek yang memicu penolakan luas warga, proyek garam industri di Sumenep yang mengancam petambak tradisional, hingga reklamasi Kenjeran yang meresahkan masyarakat pesisir.

“Klaim bahwa proyek-proyek ini akan membawa kesejahteraan itu ilusi. Di sekitar Tumpang Pitu misalnya, angka kemiskinan justru naik 23% dalam tiga tahun terakhir,” ungkap David. Ia juga menyoroti proses perizinan yang tidak transparan dan minim partisipasi warga.

Gerak Bareng Lawan Reklamasi dan Lindungi Ruang Hidup

Panggung rakyat bertema “Tolak PSN Surabaya Waterfront Land, Bukan Untuk Rakyat” jadi ruang solidaritas terbuka. Akademisi, mahasiswa, dan warga kampung pesisir bersuara menolak reklamasi. Semua sepakat: ruang hidup bukan komoditas.

Trisno Raharjo dari Majelis Hukum dan HAM Muhammadiyah menambahkan bahwa banyak warga rentan karena tidak punya akses terhadap pemahaman hukum. “Ketika masyarakat nggak paham hukum, mereka makin gampang dikorbankan,” ujarnya.

10 Komitmen Bersama, Salah Satunya: Dukung Pemulihan Ekosistem

Forum ini menghasilkan sepuluh butir komitmen bersama. Poin-poinnya adalah:

  1. Pembaruan pemetaan konflik sebagai langkah strategis memperkuat koalisi masyarakat sipil dan meningkatkan kesadaran atas dampak kebijakan politik terhadap HAM dan lingkungan.
  2. Penguatan agenda koalisi CSO untuk memperjuangkan kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan.
  3. Kolaborasi untuk mitigasi praktik mengundang bencana alam dalam perizinan tambang yang merugikan masyarakat lokal di Jawa Timur.
  4. Perlindungan kebebasan sipil dan akademik, khususnya dalam menghadapi ancaman dari UU TNI/RUU POLRI yang berpotensi melegitimasi represi kepada civitas akademica.
  5. Reformulasi strategi gerakan masyarakat sipil demi penguatan demokrasi, supremasi hukum, dan penegakan keadilan hukum dan Hak Asasi Manusia.
  6. Kritik terhadap proyek pembangunan bermasalah yang berdalih “percepatan pembangunan” namun justru merampas hak-hak Masyarakat lokal.
  7. Membersamai warga yang mengupayakan ‘penolakan reklamasi’ dan perusakan ruang hidup, serta mendorong kerja-kerja pemulihan ekosistem dan perlindungan mata pencaharian Masyarakat terdampak.
  8. Penguatan peran masyarakat sipil lintas sektor, termasuk kampus, NGO, dan ormas, sebagai kekuatan utama dalam gerakan demokrasi dan pembaharuan sosial yang berkelanjutan.
  9. Bekerjasama untuk mengkritisi dan mengvaluasi dan jika diperlukan melakukan judicial review dan sejenisnya terhadap UU dan atau regulasi bermasalah yang menjadi hambatan advokasi dan pintu masuk bagi beragam praktik penyalahgunaan kekuasaan.
  10. Kolaborasi antara kampus dan masyarakat sipil sebagai poros penting dalam memperkuat dukungan terhadap agenda advokasi warga, advokasi kebijakan, dan pemulihan demokrasi yang bermakna.

“Isu lingkungan dan sumber daya alam itu nggak bisa ditangani sektoral. Harus kolaboratif, lintas ormas, kampus, sampai komunitas warga,” ujar David Efendi.

CSO Gathering Jawa Timur 2025 jadi bukti bahwa gerakan ekologis berbasis masyarakat masih hidup, dan siap jalan bareng untuk masa depan yang lebih adil dan lestari. Dari pesisir Surabaya sampai pegunungan Trenggalek — suara rakyat terus menguat.

Artikel Lainnya